Cerpen Nuansa Henna Menjelang Pernikahan

Cerpen Nuansa Henna Menjelang Pernikahan

Zalfa Syahira

Sekolah : MA Darul Ulum Banda Aceh

Genap seminggu, aku berada di rumah sejak liburan dari pondok minggu lalu. Saat ini, aku sedang bersantai di teras depan rumah sambil menyantap secangkir teh hangat. Pagi ini, matahari sedikit tertutup oleh angina udara yang begitu sejuk, sehingga alunan burung berkicauan di atas ranting pohon mangga rumahku. Beberapa menit setelah itu, mama ku datang sambil membawa selembar kertas undangan pesta pernikahan, lalu mamaku memberikan sepucuk kertas putih kepadaku.

“Kak Aisi sama Bang Rayyan nikah, Bunda. Terus ini surat apa, Bunda?” tanyaku antusias.

“Iya, Kak. Bunda juga kaget sebenarnya mereka nikah, ya, tapi itu kan kemauan Kak Aisi juga,” jawab Bunda kepadaku.

Kemudian bundaku langsung pergi begitu saja. Kebiasaan bunda selalu lupa menjawab pertanyaan kedua dari aku, bunda orang yang sangat pelupa.

“Bunda, jangan pergi dulu. Bunda belum lagi jawab pertanyaan yang satunya lagi.”

“Oh, iya, Bunda lupa hehehe, jadi gini, Kak Aisi minta tolong buat ukirin henna di tangan nya, karena orang yang kemarin Kak Aisi unboxing sakit, Kak,” jelas bunda panjang lebar.

“Wah, boleh-boleh, Bunda,” ucapku penuh kegirangan.

“Oke, nanti Bunda kabarin Kak Aisi lagi,” balas bunda.

Selesai berbincang dengan bunda, aku pun kembali memikirkan hal tentang ukiran henna untuk Kak Aisi nanti. Sebenarnya, aku sedikit gugup saat mengukir henna, tapi karena sudah berpengalaman sekali jadi, aku berfikir untuk mencoba lagi yang kedua kalinya, siapa tau suatu saat nanti aku bisa jadikan job samping saat kuliah, mungkin kan? Semoga saja terwujud, amin.

Hari sudah menjelang sore, raja siang mulai terlelap ke arah timur hingga muncullah sunset yang begitu indah dipandang. Magrib pun tiba, di mana bunda sudah banyak berbicara mulai dari menyuruhku untuk segera beribadah solat magrib dan hal-hal lainnya. Langsung kusaksanakan perintah bunda karena memang wajib dikerjakan, jika tidak, bisa saja bunda memukulku dengan rotan besarnya. Selesai kulaksanakan solat magrib, bunda menyuruhku untuk ke kamar untuk membicarakan sesuatu.

“Iya, Bunda, kakak datang sebentar lagi. Ini, kakak lagi lipat mukena,” teriakku sedikit keras.

Sesudah melipat mukena, aku langsung berjalan ke kamar bundaku. Jarak kamar bunda sedikit jauh, terlebih aku harus menaiki tangga lagi. Karena kewalahan menaiki tangga, aku bertanya dengan kata-kata sedikit terputus.

“Kenapa, Bunda?” tanyaku sedikit gagap.

“Ini, Kak. Kak Aisi ngabarin bunda suruh kaka langsung kerumahnya malam ini.”

“Tapi…gapapa lah, Bunda. Bentar lagi kaka pergi.”

“Kenapa? Kamu gabisa pergi?” tanya bunda.

“Bisa kok, Bunda. Kaka siap-siap dulu.”

Penjelasan bunda tadi sempat membuatku kaget sebenarnya, kemudian aku langsung bersiap-siap memakai baju. Tak lupa ku ambil kunci motor dan pamit sama bunda lalu segera ke rumah kak aisi. Dalam perjalanan, aku merenung melihat banyaknya papan bunga ucapan selamat pernikahan. Tanpa kusadari, sampailah aku kerumah kak aisi. Rumah yang sangat mewah wajar orang kaya, serta hiasan papan bunga di sepanjang lorong rumahnya. Setelah ku parkirkan motor di halaman rumah, lalu kumasuk ke depan teras yang begitu luas disertai bangunan pelaminan bak singahsana raja sungguh membuatku takjub dengan rangkaian pesta besar ini.

“Bagus banget pestanya, ya Allah,” monologku sendiri yang pastinya tak didengar orang.

Setibanya aku dalam ruangan bernuansa putih serta di temani hiasan bunga indah, terlihat kak aisi sedang bersantai sambil menungguku datang. Yah, sepertinya begitu.

“Halo, Kak Aisi! Sudah lama banget tidak ketemu. Pulang dari luar negri langsung nikah-nikah aja nii!!” ucapku ceria penuh semangat.

“Hahaha, iya, maafin Kak Aisi enggak ngabarin syera kalau kakak mau nikah,” jawab kak aisi tulus.

“Iyaa, kok, Kak. Gapapa, yang penting kan sekarang kita ketemu,” ucapku girang.

“Tolong ukirin yang cantik ya, Syera, kayak orang yang ukirnya.”

“Bisa aja, Kakak ni, siap ukir cantiknya.”

Lama bersapa ria, aku pun segera mengukir henna di tangan kak aisi. Ketika sedang aku ukir henna, kak aisi menceritakan banyak pengalamannya di luar negri, mulai dari hidup disana sampai dengan ia ketemu sama Bang Rayyan. Aku yang mendengar begitu menginginkan kehidupan seperti kak aisi.

“Eh, Syera, kaka bingung deh kenapa harus ngukir henna ketika menikah,” ucapnya benar-benar merasa kebingungan.

“Kenapa harus bingung, Kak? Ngukir henna itu kan memang sudah kebudayaan adat Aceh setiap pernikahan, serta pelaminan yang lebih menggambarkan adat Aceh. Begitu pun dengan ukiran henna di kedua tangan dan kaki para pengantin wanita yang diberi sebutan darabaroe,” ucapku dengan penjelasan panjang lebar.

Tiga jam telah berlalu, jemari ku sudah sangat pegal. Untung saja ukiran hennanya hampir selesai, akan maksudku selesai di bagian tangan nya saja, belum lagi kedua kakinya. Lelah? Jangan ditanya, tapi demi kak aisi aku rela dan bersedia juga demi uangnya hehehe. Ku lanjutkan mengukir lagi henna. Sebenarnya aku ingin sekali mengomentari warna hennanya, terlalu merah gelap karena sangat tidak sesuai dengan warna kulitnya yang putih. Lebih tepat jika ia memilih warna sedikit terang untuk skin kulitnya.

“Cantik banget Syera ukirnya,” kata Kak Aisi berlebihan.

“Makasih ni pujiannya. Tangan Kakak yang cantik jadi hennanya ikutan cantik juga hehehe,” ucapku spontan.

Arah jarum jam terus berputar sehingga hampir setengah duabelas, selesai ku ukir kaki yang sebelah kanan, sekarang giliran kaki kiri yang akan ku ukir, sambil menahan rasa kantuk. Untungnya, Kak Aisi peka untuk menawarkan secangkir teh dingin dan sepotong kue bolu untukku santap. Penawaran tersebut tidak mungkin kutolak, segera ku seruput tehnya dan ambil sepotong kue untuk kumakan, hitung-hitung tenaga sebelum kembali mengukir henna.

“Makasi Kak, kue sama teh dinginya,” ucapku lega setelah menelan beberapa cemilan.

“Iya, sama-sama. Kakak tau kamu sedari tadi kelaparan sama haus kan?” tebak Kak Aisi sungguh benar.

“Hehehe iya Kak, pengertian banget deh,” balasku balik.

Jarum jam pas berada di pukul duabelas tepat, akhirnya ukiran henna yang di kaki Kak Aisi pu selesai, rasanya ngantuk sudah menguasai kedua mataku. Untung saja tugasku selesai, ku lihat Kak Aisi pun tertidur lelap karena kewalahan menungguku siap mengukir, segera kubangunkan Kak Aisi karena bahaya jika ia tidur ketika ukiran henna memenuhi kedua tangan dan kakinya.

“Alhamdulilah, usai juga mengukirnya. Cantik banget Syera, Kakak suka,” ucapnya girang sambil mengucek sedikit matanya.

“Alhamdulillah Kak, akhirnya selesai,” ku jawab.

Sesudah habis mengukir henna, aku berceletih ria sambil menceritakan kejadian pas bunda tiba-tiba bilang Kak Aisi mau digambari hennanya malam ini. Padahal aku sudah berniat hendak membuka laptop dan melakukan hal rutin setiap malam, apalagi kalau bukan nonton drama Korea sama China. Kegiatan malam tersebut menjadi tertunda karena aku harus mengukir henna untuk Kak Aisi. Kak Aisi sebagai pendengar merasa sedikit bersalah karena aku tidak sempat nonton. Oleh karena itu, ia mengajakku nonton untuk membalas rasa bersalahnya dan hitung-hitung sebelum menjadi istri orang nantinya.

Satu jam berlalu, kami nonton tanpa disadari hennanya pun sudah mengering. Segera kubantu Kak Aisi untuk mengelupas hennanya, sedikit butuh waktu lama sampai habis terkelupas hennanya dan tersisa ukiran merah yang sangat indah dan mudah dilihat. Selesai mengelupas henna Kak Aisi, aku segera berpamit pulang karena ayahku sudah menunggu sedikit lama di luar sana.

“Kak Aisi, aku pamit ya,” izinku ramah.

“Oke, besok jangan lupa dandan rapi semprot parfum sana-sini, sudah pasti Syera cantik kali,” ucap Kak Aisi sehingga membuatku tersanjung.

Akhirnya tugasku pun selesai, ukiran hennanya sangat sesuai dengan ekspektasiku. Setelah itu, aku bersama ayahku segera pulang ke rumah dalam perjalanan yang suram dan gelap karena ada ayahku, jadi aku biasa saja melewati lorong-lorong dan jalanan sepi ini. Setibanya di rumah, tubuhku langsung terkapar lemas di atas kasur, sejenak kupikirkan hari esok pernikahan Kak Aisi sebelum kutertidur lelap.

 

 

Share